Senin, 08 Maret 2010

Gangguan Stress Pasca Traumatic Korban Kekerasan Seksual Pada Anak

“Anak adalah masa depan dan harapan bangsa”

Begitu kata para cerdik cendekia tentang betapa pentingnya memperhatikan masalah anak. Oleh karenanya kebutuhan anak harus diperhatikan dan dipenuhi hak-haknya, karena masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan, apa-apa yang terjadi pada masa pertumbuhan ini akan sangat berpengaruh bagi perkembangan anak selanjutnya hingga ia dewasa. Namun pada kenyataannya yang terjadi justru berbalik, Anak tidak lagi diperhatikan kebutuhannya dan dipenuhi hak-haknya melainkan justru disakiti dan dilukai. Anak malah menjadi korban kebiadaban orang dewasa yang tidak bertanggung jawab, salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual yang terjadi dewasa ini justru banyak menimpa anak-anak sebagai korbannya. Dewasa ini kasus kekerasan seksual terus meningkat, terutama kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Berbagai penelitian di dunia menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan seksual terhadap anak cukup tinggi antara 1 hingga 21 persen perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di saat mereka berusia dibawah 15 tahun. Sementara di Indonesia sendiri diperkirakan kasus kekerasan seksual mencapai angka antara 17 hingga 25 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada tahun 2005 data Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat adanya 731 kasus kekerasan terhadap anak, meliputi kekerasan fisik, psikis maupun seksual, dengan kecenderungan kenaikan kasus hampir 100% dari tahun sebelumnya disertai peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Sementara Data kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke Rifka Annisa tahun 2000 s/d 2005 menunjukkan adanya 157 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, 139 (88,5%) kasus diantaranya adalah kasus kekerasan seksual, 54% atau 1 dari 2 kasus perkosaan yang terjadi sejak tahun 2000 hingga 2005 adalah perkosaan terhadap anak. Sekalipun prevalensi kekerasan seksual terhadap anak perempuan cukup tinggi, namun masih sedikit sekali yang terungkap dipermukaan. Menurut dr. Soepalarto Soedibjo, MPH, Asisten Deputi Urusan Kekerasan terhadap Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan, kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang tak terungkap jauh lebih banyak. Para orang tua yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual tidak berani atau tidak mau melaporkan kasus yang menimpa anaknya ke pihak-pihak yang berwenang. Seperti fenomena gunung es, data yang ada itu hanyalah puncak kecilnya. Banyak kasus tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Belum lagi jika ditambah kasus pelecehan seksual, seperti sekadar meraba, mencium, atau mempertontonkan adegan erotis, yang jarang sekali dianggap kasus yang patut dilaporkan atau ditindaklanjuti kepada yang berwajib.
Semakin banyak kasus yang tidak dilaporkan ke polisi ataupun tidak terangkat ke media semakin memberikan peluang untuk para pelaku melakukan tindak kejahatan kepada anak-anak. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak sepertinya justru dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Para pelaku beranggapan bahwa apabila melakukan kekerasan seksual terhadap korban yang telah dikenalnya peluang untuk tidak dicurigai akan semakin besar. Para pelaku biasanya adalah oramg-orang yang telah mengenal baik korbannya seperti tetangga, saudara, guru yang seharusnya memberikan teladan yang baik untuk anak-anak, bahkan yang lebih parah adalah kekerasan seksual yang dilakukan orang tua korban, baik ayah kandung ataupun ayah tiri. Data kasus yang masuk ke Rifka Annisa sejak tahun 2000 hingga 2005 menunjukkan bahwa 1 dari 6 kasus perkosaan adalah kasus Incest, yaitu kekerasan seksual atau perkosaan yang dilakukan oleh keluarga sedarah ataupun keluarga yang tinggal dalam satu rumah tangga, seperti ayah kandung, saudara kandung, paman, kakek, ayah tiri, keponakan, dan lain-lain.
Seperti contoh kasus yang terjadi di Bojonegoro pada bulan Oktober 2009, seorang guru SD tega menyodomi siswanya dan setelah diungkap ternyata guru tersebut telah beberapa kali melakukan sodomi kepada siswanya. Sejumlah muridnya juga pernah beberapa kali diperlakukan tak senonoh, baik sekadar diminta mengelus, sampai disodomi. Kasus guru melakukan tindak kekerasan seksual terhadap muridnya juga terjadi di Desa Merbau Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Diceritakan bahwa oknum guru tersebut telah menyodomi 17 muridnya, dilaporkan oknum guru ini melakukan tindak asusila terhadap belasan muridnya sejak 2006 hingga 2008. Kasus di Jember berbeda lagi, ini terjadi pada Oktober 2009, seorang kakek tega memperkosa cucu kandungnya sendiri. Bocah yang telah menjadi piatu itu bercerita jika sejak bulan puasa Oktober 2009 lalu telah dicabuli oleh kakeknya sendiri.
Dari fenomena kekerasan seksual di Indonesia yang sebagian besar korbannya adalah anak-anak akan menimbulkan berbagai dampak negative. Hasil penelitian Rifka Annisa menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami trauma jangka panjang yang beragam bentuknya seperti disfungsi seksual, immature sexual active, menarik diri dari lingkungan. Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada anak-anak yang pelakunya adalah orang-orang terdekat korban seringkali membutuhkan penanganan yang komprehensif dan berjangka panjang. Menghukum pelaku saja juga tidak cukup menyelesaikan masalah. Keberadaan korban untuk tetap dalam rumah tangga atau tinggal serumah dengan pelaku akan mempersulit proses penyembuhan trauma yang dialami anak. Namun demikian mengeluarkan anak dari lingkungan sosialnya juga sulit dilakukan. Sementara proses recovery korban, agar dia dapat pulih secara mental dan sosial sama sekali belum mendapatkan perhatian. Kekerasan seksual yang terjadi pada anak memang tidak sesederhana dampak psikologis yang akan ditimbulkan. Korban kekerasan seksual dan perkosaan dapat mengalami stress akibat pengalaman traumatis yang dialaminya, kekerasan seksual dan perkosaan akan menimbulkan efek trauma yang mendalam pada korbannya. Selain itu korban juga berpotensi mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat kekerasn seksual terjadi maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Anak akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada obyek-obyek atau orang-orang yang lainnya (Supardi & Sadarjoen, 2006). Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban.

Tidak ada komentar: