Kamis, 11 Maret 2010

Kedudukan Perempuan dalam Budaya Minangkabau

Berbeda halnya dengan budaya jawa yang mana perempuan menjadi sesuatu hal yang tidak penting, dianggap tidak tahu apa-apa dan peran laki-lakilah yang menjadi paling dominan dalam segala hal, biasanya perempuan jawa lebih diharuskan untuk mengurusi rumah tangga saja atu menjadi ibu rumah tangga saja tetapi di Minang berbeda. Perempuan menjadi suatu hal yang diagung-agungkan oleh masyarakat Minang, dalam adat Minang kedudukan dan peranan perempuan itu sangat besar dan sangat diharapkan keberadaannya dan sejak dulu mendudukkan perempuan pada sisi yang besar. Banyak ungkapan yang melambangkan tingginya peran dan kedudukan perempuan di minang. Ia dilambangkan sebagai limpapeh rumah nan gadang, sumarak anjuang nan tinggi, dsb. Dan, khusus untuk perempuan dewasa atau kaum ibu digunakan istilah Bundo Kanduang. Sebutan Bundo Kanduang bukanlah sekadar istilah saja tapi lebih dari itu. Perempuan dengan sebutan Bundo Kanduang tidak hanya dinilai dari segi fisik saja, melainkan dari kepribadiannya juga. Perempuan yang mendapatkan julukan ini harus mempunyai kepibadian yang baik, dapat bersopan santun dan memahami ketentuan adat yang berlaku selain itu ia juga harus dapat berpakaian secara pantas. Oleh karena itu kaum ibu termasuk warga masyarakat yang sangat besar fungsi dan peranannya dalam hidup ini, mereka juga dilambangkan dengan amat mulia dan filosofis. Sifat perempuan bila menjadi Bundo Kanduang tersebut dinyatakan dalam kato pusako (kata pusaka) berikut: Dihias jo budi baiak, malu sopan tinggi sakali, Baso jo basi bapakaian, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banzar, kok mati tampek baniat. Tiang kokoh budi nan baiak, pasak kunci malu jo sopan, hiasan dunia jo akhirat, awih tampek mintak aia, lapa tampek minta nasi, (Zulkarnaini, 1994). Istilah tersebut memiliki arti kehadiran perempuan sebagai Bundo Kanduang merupakan contoh dan teladan budi bagi masyarakatnya, bagi kaumnya, dan bagi rumah tangganya. Sosok Bundo Kanduang digambarkan sebagai ibu yang berwibawa, arif bijaksana, suri teladan, memakai raso (rasa) dan pareso (periksa), serta tutur katanya sopan. Oleh karena itu perempuan yang telah memiliki julukan Bondo Kanduang adalah merupakan perempuan yang harus memiliki budi pekerti yang baik, sopan santun, taat beragama, memahami adat yang berlaku, memiliki harga diri, dan mampu memelihara dirinya dan masyarakat dari dosa.

Dalam adat minang, perempuan sangat disanjung dan masyarakat meyakini benar bahwa wanitalah bermula dan paling pantas menerima peran sosial dalam mempertahankan kelanggengan adat dan budaya. Dalam adat dan budaya Minang, agar kecintaan dan penghargaan kepada kaum wanita selalu hidup dalam jiwa kaum pria, adat menetapkan silsilah keturunan mengambil garis keturunan Ibu, yang disebut system matrilineal. Sistem Matrilineal ini sulit dibantah karena ini merupakan dalil yang sudah hidup, tumbuh dan berkembang di Minangkabau. Perempuan di minang pendapatnya selalu didengarkan, mereka juga merupakan pewaris harta keluarga dan pambawa nama keluarga, perempuan minang juga membawa garis keturunan bukan dari pihak lelakinya selain itu runah-rumah gadang dengan ukiran yang indah di minang itu merupakan milik perempuan minang. Dalam hal penyelenggaraan system kekerabatan, pola pengelolaan harta pusaka, riumah gadang dan pelaksanaan perkawinan juga dilaksanakan oleh kaum wanita itu sendiri. Penyelenggataan sistem kekerabatan, wanita minang umumnya dilengkapi dengan dukungan ekonomi yang bersumber dari pengelolaan harta pusaka dan sebuah tempat kediaman yang disebut „rumah gadang”. Setiap harta yang menjadi pusaka selalu dijaga agar tetap utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana diajarkan falsafah alam dan hukum adat. Harta pusaka mempunyai fungsi sosial yang berada dalam penguasaan kaum wanita.

Tidak ada komentar: